Jokowi di Ujung Jalan Kenangan: Sebuah Kenangan yang Tak Terlupakan

Milenialnusantara – Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan_,” Kata Gus Dur. Pernyataan Presiden ke-4 RI ini menjadi relevan dan perlu dihidupkan dalam situasi kebatinan politik hari-hari ini. Kemanusiaan timbul karena kesadaran etis-moralitas yang menjiwai seluruh dinamika perjalanan hidup seorang manusia.

Etika yang ada pada manusia hendaknya digunakan dengan sebaiknya untuk pribadi maupun di hadapan masyarakat umum. Sehingga dengan etika dan yang dianggap positif maka manusia akan bernilai baik. Banyak hal yang meliputi etika, diantaranya adalah kepatutan.

Pada saat ini, banyak hal yang memang sesuai dengan etika dan hak manusia, tetapi perrsoalan etika yang di dalamnya ada bagian kepatutan tidak boleh disepelekan oleh sekelompok manusia secara individu, karena hal ini berdampak buruk terhadap perjalanan masa depan sebuah bangsa.

Konflik dan kegaduhan di tataran elite politik yang kemudian menyebar ke masyarakat bawah menjadi tanda bahwa ada kemerosotan etika yang tidak mampu dikendalikan.

Gus Dur dalam praksisnya menggunakan politik dengan keutamaan nilai-nilai dan standar kepatutan. Terhadap konstitusi dan dalam urusan pemerintahan. Sehingga, perdebatan soal kepemimpinan Jokowi di akhir masa jabatannya, kita perlu menggaungkan prinsip etika dan moralitas.

Etika menjadi relevan saat ini dan akan selalu relevan karena kehidupan manusia terus menerus ditandai oleh pertarungan (konflik) antar kekuatan baik (good) dan kekuatan jahat (evil) yang tak pernah henti-hentinya.

Suseno, (l988) menegaskan, etika mendasarkan diri pada rasio untuk menentukan kualitas moral kebajikan maka disebut juga sistem filsafat yang mempertanyakan praksis manusia berkenaan dengan tanggung jawab dan kewajibannya.

Artinya, sebagai Presiden, Jokowi harus mempertanggungjawabkan secara total dihadapan negara dan masyarakat, bahwa ada keutamaan yang lebih dahsyat yakni keutuhan dan kedaulatan demokrasi, bangsa dan negara.

Mengubur Transparansi dan Netralitas

Kekuasaan politik dapat dan harus dihayati yang mengakar pada kepentingan rakyat. Di segala tingkatan politik, kekuasaan harus dipakai untuk melayani, bukan untuk mendominasi, apapun komitmen pribadinya. Kekuasaan sempit dan penyembahan dominasi sama sekali tidak etis.

Di segala tingkatan politik, apabila orang dapat melihat secara terus menerus bahwa seorang politisi, kelompok politisi atau pemerintah menggunakan kekuasaan sebagai alat untuk mendominasi bukan untuk melayani, maka kekuasaaan akan mendominasi pemikiran dan tindakan politik, serta akan menimbulkan kebencian dan permusuhan; sungguh, kekuasaan akan mengakibatkan konflik, dingin atau panas, terbuka atau tertutup akan membias pada perpecahan.

Kegagalan Jokowi mempertahankan netralitas menjadikan suhu demokrasi meningkat tajam, panas, keras dan ganas sekaligus awal dari keruhnya prosesi Pemilu 2024.

Dalam laporan majalah Tempo tanggal (29/10/2023) berjudul ‘Timang-timang Dinastiku Sayang’ , Jokowi memperlihatkan sentimen negatif dengan melanggengkan plitik dinastinya yang diangggap merusak demokrasi.

Beberapa fakta yang diungkap Tempo, Jokowi melakukan berbagai cara, mengkebiri etika dan konstitusi agar putranya, Gibran Rakabuming Raka mendapat tiket maju sebagai Cawapres.

Peran Jokowi melalui Mensesneg Pratikno meminta partai Gerindra segera mendeklarasikan Prabowo-Gibran, meminta lebih dari tiga lembaga survei untuk menyurvei elektabilitas Gibran, meminta kelompok relawannya mendukung Gibran, mendorong partai-partai lain agar ikut mengajukan Gibran, meminta timnya membantu menyusun pidato gibran dalam deklarasi calon presiden-wakil presiden.

Persoalan lain yang paling pelik dipertontonkan Jokowi adalah mengkebiri konstitusi dengan menanfaatkan lembaga negara Mahkamah Konstitusi yang merupakan paman dari Gibran Rakabuming.

Penelusuran Tempo mengungkap, pimpinan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Anwar Usman aktif melobi sejumlah hakim konstitusi agar mengabulkan gugatan penurunan batas usia capres-cawapres yang diajukan sejumlah partai dan kepala daerah.

Definisi sosiolog klasik Max Weber menjelaskan kekuasaan adalah setiap kesempatan untuk menetapkan kehendak diri sendiri dalam sebuah hubungan sosial meskipun dihadapkan pada sebuah perlawanan, tak masalah apapun basis kesempatan itu.

Dalam situasi kepentingan yang dimaksud Max Weber, Jokowi sedang mempertahankan kehendak kuasanya untuk terus ‘memimpin’ atau ‘aktor utama’ yang dipaksakan menjelma dalam wujud Gibran.

Dramaturgi berbalut keluguan netralitas dan transparansi tersebut, harus direnungi bahwa etika menjadi tantangan bagi politisi. Politisi dituntut berkiblat pada etika politik sebagai pengendalian kekuasaan agar politik memiliki kepatutan dan keteladanan.

Sebab, penyalahgunaan kekuasaan dan terkuburnya netralitas dengan melibatkan institusi negara dalam kepentingan sempit (keluarga) adalah masalah fundamental dari teori-teori negara.

Terjebak dalam Kepalsuan

Negara demokrasi akan selalu bersentuhan dengan bentuk pemerintahan yang didasarkan pada konstitusi atau aturan main perundang-undangan dengan dibatasinya kekuasaan para pemimpin dan lembaga-lembaga pemerintahan, dan pembatasan ini ditegakkan melalui prosedur yang sudah mapan. Sehingga kebablasan pujian dan pendewaan terhadap presiden juga ada kadar batasnya.

Sebagai bangsa yang besar dan sebagai warga masyarakat, kita wajib mengingatkan para pemimpin agar tidak mengarungi kekuasaan dalam lautan yang dangkal dan sempit. Betapapun luasnya samudera kebaikan yang ditabur Jokowi dalam menahkodai kapal besar bernama Indonesia, jika ada yang tersakiti, jika ada komponen yang dirusak secara sengaja, maka waktu akan menentukan, bersandar dengan tenang di pelabuhan atau karam.

Sejatinya, kesadaran organisasi politik hierarkis yang dengan sengaja dipendam menjawab dengan tegas bahwa Jokowi di penghujung masa jabatan berada dalam kepalsuan. Jokowi didikte oligarki politik dan bisnis. Kesadaran hierarkis politik dengan PDI Perjuangan sebagai rumah yang mengantarnya menjadi wali kota, gubernur dan presiden secara sengaja dilenyapkan.

Hal ini menguatkan pendapat publik bahwa tidak ada lagi ‘etika’ dan ‘moralitas’ yang harus dikendarai Jokowi dalam mengawal demokrasi. Semua tercerai berai berawal dari rusaknya Mahkamah Konstitusi secara sengaja.

Dalam senja kepemimpinannya, ada kegagapan dan ketidakwaspadaan tentang pemanfaatan posisi presiden oleh partai-partai di luar koalisi PDI Perjuangan. Ia dininabobokan dan mempertentangkan hubungan presiden dan organisasi hierarkis politik dengan motif merusak hubungan PDI Perjuangan dan Jokowi.

Ambisi berkuasa dimuluskan, sementara kita dipaksakan menerima kenyataan pahit bahwa pengangkatan terhadap konstitusi adalah jalan kebijaksanaan, padahal ini penjelmaan sikap tidak kritis dan terjebak dalam kepalsuan.

Gus Dur, mengingatkan bahwa sikap ‘adil’ dan ‘beradab’ menjadi sebuah kepatutan dan teladan, sebab “yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan”.

Hal yang sama kita inginkan dari Jokowi agar di penghujung jalan kepemimpinannya, ia meninggalkan jejak ‘adil’ dan ‘beradab’ yang kelak dikenang dalam sejarah perjalanan bangsa bahwa Indonesia bangga pernah dipimpin seorang presiden bernama Jokowi.*

Oleh: Yogen Sogen (Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Pemerintahan STIPAN dan Penulis buku “Di Jakarta Tuhan Diburu dan Dibunuh”

spot_img
Populer
Berita Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here