JMN, JAKARTA – Wacana mengenai Pilkada melalui DPRD kembali mencuat ke permukaan, seiring dengan pidato yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto pada peringatan HUT Partai Golkar ke-60 di Bogor pada 12 Desember 2024. Dalam pidatonya, Prabowo mengkritik tingginya biaya yang dikeluarkan dalam Pilkada langsung, yang ia anggap terlalu mahal dan boros. Ia menyoroti negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan India, yang dinilai lebih efisien dengan sistem pemilihan yang hanya melibatkan pemilihan anggota DPRD, yang kemudian memilih kepala daerah. Menurut Prabowo, sistem ini lebih hemat biaya dan dapat mengalihkan anggaran untuk kebutuhan masyarakat seperti pendidikan dan infrastruktur.
Tentu saja, wacana ini bukanlah hal baru. Pada 2014, Indonesia pernah mengalami perdebatan sengit mengenai mekanisme Pilkada. Saat itu, DPR RI melakukan revisi terhadap Undang-Undang Pilkada. Fraksi Golkar, PKS, PAN, PPP, dan Gerindra mendukung Pilkada yang dilakukan melalui DPRD, sementara fraksi lainnya seperti PDI Perjuangan, PKB, dan Hanura menentang dan menginginkan Pilkada tetap dilakukan secara langsung oleh rakyat. Perdebatan tersebut mencapai puncaknya pada rapat paripurna tanggal 25 September 2014, yang berakhir dengan hasil voting yang memutuskan Pilkada dilaksanakan melalui DPRD.
Meski begitu, tak lama kemudian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan dua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), yaitu Perppu Nomor 1 Tahun 2014, membatalkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 yang mengatur Pilkada oleh DPRD dan Perppu Nomor 2 Tahun 2014, mengubah UU Nomor 24 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menghapuskan tugas dan wewenang DPRD dalam memilih kepala daerah. Pembatalan ini dilakukan untuk mempertahankan sistem pilkada langsung yang sudah berjalan.
Namun, dengan terus berkembangnya dinamika politik dan tantangan anggaran, wacana ini kembali muncul di tahun 2024. Beberapa politisi, termasuk Bahlil Lahadalia dan Jazilul Fawaid, kembali mendukung Pilkada melalui DPRD dengan alasan efisiensi anggaran dan untuk menghindari pemborosan. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian juga ikut menyetujui rencana yang mengemuka tentang penyelenggaraan Pilkada yang dapat dilakukan melalui DPRD. Pendapat ini disampaikan setelah Tito melihat hasil dari Pilkada Serentak 2024 yang dinilai mengeluarkan biaya besar. Menurutnya, biaya yang sangat tinggi dalam penyelenggaraan Pilkada langsung seharusnya bisa dialihkan jika pemilihan kepala daerah dilakukan dengan mekanisme lain, yang dinilai lebih efisien.
Sementara itu, partai-partai seperti Gerindra, Golkar, PKB, Nasdem, dan PAN mendukung ide ini, sementara PDI Perjuangan tetap pada pendiriannya untuk mempertahankan sistem Pilkada langsung demi menjaga kedaulatan rakyat. Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, mengingatkan bahaya penggunaan instrumen Pilkada sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan. Ia menegaskan, Pemilu harus menjadi sarana bagi rakyat untuk memilih pemimpin tanpa intervensi. Megawati juga menekankan pentingnya menjaga integritas Pemilu. Selain itu, Megawati juga menyoroti manipulasi kedaulatan rakyat demi kepentingan kekuasaan. Pernyataan Megawati ini menjadi panggilan untuk menjaga demokrasi dan memastikan Pemilu tetap berpihak kepada rakyat, bukan kepentingan segelintir pihak.
Sedangkan PKS melalui Mardani Ali Sera, Ketua DPP PKS, menyarankan agar otonomi daerah dievaluasi, dengan konsep baru di tingkat provinsi yang membatasi jumlah kota atau kabupaten maksimal delapan wilayah. Ia juga mengusulkan agar Bupati dan Walikota diangkat oleh Gubernur, seperti di Jakarta. Menurutnya, model ini lebih efisien dalam anggaran dan pembangunan, serta dapat menciptakan kota layak huni dengan pendidikan berkualitas dan lapangan pekerjaan.
Pilkada oleh DPRD: Sebuah Langkah Mundur dalam Demokrasi?
Di tengah perdebatan ini, ada sejumlah pertanyaan penting yang perlu dipertimbangkan. Apakah efisiensi biaya lebih penting daripada hak rakyat untuk memilih langsung kepala daerah mereka? Jika Pilkada dilakukan melalui DPRD, apakah suara rakyat akan tetap terdengar dengan kuat, atau justru akan tereduksi?
Wacana ini membawa kita pada refleksi tentang sejauhmana sistem demokrasi kita memberikan ruang bagi partisipasi rakyat. Tentu saja, efisiensi anggaran dan pengelolaan sumber daya publik sangat penting, tetapi kedaulatan rakyat dalam memilih pemimpin daerah mereka adalah aspek yang tak kalah penting. Menghadapi tantangan ini, diperlukan sebuah dialog yang terbuka dan konstruktif, di mana semua pihak dapat menemukan solusi yang terbaik untuk masa depan demokrasi Indonesia.
Pilkada langsung oleh rakyat telah menjadi salah satu pilar penting dalam demokrasi Indonesia. Proses ini memberi rakyat kesempatan untuk memilih pemimpin daerah mereka, menjamin akuntabilitas, dan memastikan bahwa suara mereka didengar dalam pemerintahan. Namun, usulan untuk mengembalikan Pilkada kepada DPRD memunculkan berbagai kritik yang perlu dipertimbangkan dengan serius.
Pertama, Pilkada oleh DPRD mengurangi partisipasi langsung masyarakat dalam menentukan pemimpin mereka, yang seharusnya menjadi hak demokratis setiap warga negara. Sistem ini juga menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana legitimasi pemimpin yang terpilih dapat diterima oleh masyarakat, mengingat pemilihan yang lebih tertutup dan kurang transparan. Kekhawatiran ini semakin besar mengingat potensi sentralisasi kekuasaan yang bisa terjadi jika hanya elit politik lokal yang memegang kendali.
Partisipasi rakyat adalah elemen fundamental dalam demokrasi sejati. Seharusnya rakyat memiliki kendali penuh atas pemilihan pemimpin daerah mereka sebagai bentuk otoritas politik yang sah. Dengan menggantikan Pilkada langsung dengan pemilihan melalui perwakilan, hak politik rakyat tereduksi, dan terjadi proses alienasi politik—di mana rakyat merasa terpisah dari proses pengambilan keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka.
Kedua, Pilkada melalui DPRD cenderung memperkuat dominasi elit politik, di mana anggota DPRD yang mayoritas berasal dari partai-partai besar atau koalisi tertentu lebih berperan dalam menentukan kepala daerah. Dengan demikian, masyarakat yang memiliki hak pilih langsung dalam pemilu tidak memiliki kontrol langsung terhadap proses pemilihan pemimpin daerah. Akibatnya, kebijakan politik yang diambil lebih cenderung mencerminkan kepentingan elite politik dan bukan aspirasi rakyat secara keseluruhan. Hal ini memperburuk ketimpangan sosial dan politik, karena kekuasaan terpusat pada sedikit orang yang tidak selalu mewakili kebutuhan masyarakat banyak.
Ketiga, pakar hukum tata negara dan politik, seperti Herdiansyah Hamzah dan Titi Anggraini, mengingatkan bahwa meskipun alasan biaya Pilkada langsung yang mahal sering diajukan, perubahan sistem pemilihan ini tidak akan menyelesaikan masalah mendasar dalam politik Indonesia, yaitu praktik politik uang dan lemahnya penegakan hukum. Mereka berpendapat bahwa pemilihan kepala daerah oleh DPRD justru berisiko memperburuk situasi ini dan memperbesar peluang terjadinya praktik transaksional.
Kekhawatiran ini diperkuat oleh pengamat politik Adi Prayitno, yang menilai bahwa keputusan ini dapat mengurangi hak politik rakyat. Alih-alih memilih pemimpin yang sesuai dengan pilihan mereka, rakyat akan tergantung pada keputusan elit politik, yang mungkin tidak mencerminkan keinginan masyarakat. Hal ini, menurut Adi, akan memperparah masalah yang sudah ada, seperti politik uang dan ketergantungan pada partai politik.
Pilkada langsung, meskipun berbiaya tinggi, memiliki sejumlah keuntungan yang tak bisa diabaikan. Sistem ini memungkinkan rakyat untuk memilih pemimpin secara langsung, memberikan mereka kontrol lebih besar atas masa depan daerah mereka, dan meningkatkan kualitas legitimasi politik kepala daerah. Selain itu, Pilkada langsung juga bisa meminimalkan praktek politik uang yang sering terjadi dalam pemilihan oleh DPRD.
Sebagai kesimpulan, meskipun biaya Pilkada menjadi perdebatan, mengubah sistem pemilihan tanpa memperbaiki sistem hukum dan politik dapat berisiko merusak kualitas demokrasi. Oleh karena itu, pembenahan dalam pengelolaan pemilu dan penegakan hukum yang tegas jauh lebih penting daripada sekadar kembali ke sistem yang pernah gagal dan memunculkan berbagai masalah di masa lalu. Pemilihan kepala daerah harus tetap melibatkan partisipasi langsung rakyat, untuk memastikan bahwa demokrasi Indonesia tetap sehat dan berkembang.
DARWIN ISKANDAR