Indonesia dalam Mendung: Akankah Hujan yang Mengguncang Tiba ?

MILENIALNUSANTARA.ID – Tanpa melalui proses analisis yang mendalam, manusia tahu bahwa mendung bertanda hujan akan turun. Ini adalah pengetahuan yang muncul melalui pengalaman. Kita mengetahuinya karena pernah melihat fenomena yang sama sebelumnya.

Artinya, ada“tanda-tanda” (pola tertentu) yang sudah kita rekam dalam memori, lalu ketika tandatanda itu muncul, kita akan mengambil kesimpulan secara spontan. Dalam konteks ini, jika “mendung,” maka kesimpulannya adalah hujan akan turun. Mendung adalah
“tanda.”

Namun, bagi seorang yang haus akan pengetahuan, ia tidak berhenti di situ. Dia akan
mengajukan pertanyaan yang lebih mendalam: Mengapa ketika mendung hujan akan
turun? Bagaimana itu bisa terjadi? Tentunya, jawaban dari pertanyaan ini sudah kita
pelajari sejak di sekolah dasar atau sekolah menengah pertama (penjelasan ilmiah).
Singkatnya begini: Mendung terjadi ketika uap air mengembun menjadi awan, dan ketika
awan jenuh, air dalam awan bergabung dan jatuh sebagai hujan.

Dalam kasus di atas, kita dapat melihat bahwa pengetahuan dapat diperoleh dengan
cara yang berbeda. Di satu sisi, pengetahuan diperoleh melalui pengalaman sebelumnya
(mengenal tanda-tanda), di sisi lain, pengetahuan dicapai melalui observasi dan
penelitian yang serius (penjelasan ilmiah).

Dalam konteks ini, pengetahuan berdasarkan pengalaman adalah landasan dari
penelitian ilmiah tentang hujan. Atau bisa juga dalam upaya untuk memastikan bahwa
mendung dan hujan itu sebagai sebab-akibat. Mendung menyebabkan hujan. Siapa tahu
mendung adalah fenomena yang terpisah dari hujan (mungkin begitu pikiran awalnya).

Artinya, kadang dalam konteks tertentu, kita tidak mesti mengetahui penjelasan ilmiah
dari suatu fenomena. Ada dan tidaknya penjelasan ilmiah tentang hujan tidak mengubah
realitas bahwa setelah mendung, hujan akan turun (walau kadang mendung tidak mesti
hujan).

Dengan kata lain, kita tidak perlu menunggu penjelasan ilmiah tentang hujan untuk
mengambil kesimpulan bahwa mendung mengakibatkan hujan, karena alam sudah
memberikan pengetahuan kepada manusia (walaupun terbatas). Seperti yang Tomas
Aquinas sampaikan bahwa alam suda ada dengan keteraturannya, Manusia hanya
menemukan.

Bayangkan, kalau kita menunggu penjelasan ilmiah tentang hujan—di mana penjelasan
ilmiah yang akurat baru ada sekitar abad ke-20 dan seterusnya—butuh waktu yang
panjang untuk mencapainya. Dalam kehidupan praktis, sebelum ada penjelasan ilmiah,
mau tidak mau kita harus percaya bahwa mendung bertanda hujan. Perlu diingat bahwa
kesimpulan itu tidak dibuat sesuka hati, tapi karena kita mengenal pola (tanda-tanda)
yang konsisten: bahwa pengalaman sebelumnya menunjukkan, ketika mendung akan
turun hujan.

Namun, tidak berarti bahwa penjelasan ilmiah tidak penting dan tidak perlu. Dalam
keterbatasan informasi, secara refleks sebagai manusia, kita akan berupaya untuk
mencari penjelasan pasti tentang suatu fenomena (penasaran).

Tanda-tanda dalam konteks pacaran

Kenapa harus konteks pacaran? Tidak ada motivasi lain, hanya sekadar supaya kamu
merasa “gua banget,” atau, seperti orang Manggarai bilang dengan dialek khasnya: “sadik
e ae.” Seperti yang saya tulis sebelumnya, kekhasan setiap daerah—baik bahasa
maupun dialek—tidak boleh dipatahkan dengan istilah “kampungan.”

Mari kita lanjut! Misalnya, dalam hubungan pacaran, kita bisa saja membaca tandatanda bahwa pasangan kita sedang mendua: mulai ada perubahan perilaku, pola
komunikasi, penampilan, dan lain-lain. Makin lama, perubahan makin drastis. Tidak
boleh pegang HP-nya (“Ini kan privasi aku”), mulai cari-cari kesalahan—cara kamu
ketawa pun bisa dijadikan masalah, apalagi gas alami dari perutmu yang keluar dengan
sunyi dan penuh kehangatan (itu lebih berat lagi masalahnya). Pokoknya, banyak tingkah
aneh yang dirasakan.

Sebelum kenyataan tiba—bahwa dugaan kamu benar, yaitu pacar kamu selingkuh—
kamu tidak boleh secara pasif menunggu kenyataan itu. Kamu juga tidak boleh hanya
berhenti di tanda-tanda: makan, tidur, goyang TikTok, tidak peduli dengan tanda-tanda…
lalu tiba-tiba pacar kamu sudah nikah, baru minta tolong ke Tuhan. Tapi kamu harus
secara aktif mencari tahu kenapa tanda-tanda itu ada.

Misalnya, dengan cara mencari pengalaman-pengalaman perselingkuhan sebelumnya,
mempelajari psikologi pasanganmu, berdiskusi dengan teman, dan lain-lain. tapi jangan
cari referensi dari prediksi zodiak. Itu menyesatkan.

Lalu, untuk mengetahui kebenaran dari tanda-tanda itu, apakah kita harus menunggu
sampai kita menyaksikan sendiri bahwa dia selingkuh (terindra)?

Aliran filsafat empirisme menyatakan bahwa semua pengetahuan dan kebenaran berasal
dari pengalaman indrawi. Empirisme dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles, yang
menekankan bahwa pengetahuan bermula dari pengalaman indrawi. Gagasan ini
kemudian dikembangkan oleh filsuf-filsuf lain seperti John Locke dan David Hume.

Kemudian, empirisme mempengaruhi positivisme hukum. Itu sebabnya, ketika
berhadapan dengan hukum, kita akan selalu diminta bukti dan saksi. Karena kebenaran
menurut hukum haruslah yang bersifat indrawi (dilihat, didengar, dibaca).

Namun, kerap kali kita dihadapkan pada pilihan yang membingungkan. Di satu sisi, kita
belum bisa membuktikan secara indrawi; di sisi lain, tanda-tanda semakin membrutal—
semakin tidak peduli, semakin emosional, sampai melakukan kekerasan fisik.

Sebaliknya, filsafat rasionalisme berpandangan bahwa pengetahuan sejati berasal dari
akal budi , bukan semata-mata dari pengalaman indrawi. Gagasan ini berakar pada
pemikiran Plato, yang meyakini bahwa dunia indra bisa menipu dan bahwa kebenaran
hanya bisa dicapai melalui penggunaan akal. Bagi Plato, dunia yang tampak hanyalah
bayangan dari dunia ide yang lebih nyata dan abadi.

Pandangan ini menjadi fondasi bagi tradisi rasionalisme, yang kemudian dikembangkan
lebih lanjut oleh filsuf-filsuf modern. Salah satu tokoh utamanya adalah Rene Descartes,
yang menghidupkan kembali semangat Plato dalam kerangka berpikir modern. Dengan
ungkapannya yang terkenal, “aku berpikir maka aku ada”, Descartes menempatkan rasio
sebagai titik awal dan dasar dari segala pengetahuan. Bagi Descartes, sebagaimana bagi
Plato, hanya akal budi yang dapat memberi kepastian dan membawa kita pada
kebenaran.

Lalu, secara formal muncul istilah rasionalitas. Rasionalitas bukan lagi bicara tentang
sumber pengetahuan, tetapi soal bagaimana akal kita digunakan untuk membuat
keputusan logis dan terukur dalam berbagai konteks. Dengan kata lain, rasionalisme
adalah dasar teori/filsafat, sedangkan rasionalitas lebih kepada penerapan praktisnya.

Namun, perlu diingat bahwa secara konsep atau makna, rasionalitas sudah ada lebih
dulu, karena para filsuf sejak awal sudah membuat keputusan dan bertindak dengan
alasan yang jelas dan terstruktur, bukan lagi berdasarkan kepercayaan yang tidak
mendasar. Hanya saja, istilah formalnya (rasionalitas) muncul setelah rasionalisme.

Dalam konteks perselingkuhan ini, bagi seseorang yang mengaktifkan rasionalitasnya
dengan sempurna, ketika semakin banyak tanda-tanda—apalagi sampai merugikan diri
sendiri—dia akan memberontak. Memberontak yang dimaksud bukan meronta-meronta
(pukul kepala sendiri, robek ijazah, dll.), tetapi dia akan membuat analisis yang
mendalam sehingga membuat keputusan yang rasional.

Misalnya, dalam kondisi tanda-tanda perselingkuhan yang semakin brutal itu, apakah
harus melanjutkan hubungan atau mengakhirinya? Dalam keadaan seperti ini, tentunya
secara rasional kita akan membuat analisis, seperti: evaluasi kesehatan mental dan fisik,
mempertimbangkan manfaat, dan keputusan jangka panjang (bilang perlu pakai analisis
tulang ikan “fishbone”).

Artinya, rasionalitas sangat membantu untuk menganalisis tanda-tanda sebelum bukti
empiris tiba (sebelum terindra), sekaligus, jika tanda-tanda semakin memburuk,
rasionalitas memandu kita untuk mengambil keputusan praktis. Bayangkan jika
keputusan harus kita tunda sampai bukti empiris ada (terindra). Lima tahun bukti empiris
belum ada, maka lima tahun pula kamu tersiksa. Artinya, sekiranya rasionalitas kamu
mengatakan bahwa kamu banyak rugi dari berbagai aspek, maka pilihan rasional adalah
mengakhiri.

Tanda-tanda dalam Konteks Politik

Kalau sebelumnya kita berbicara dalam konteks pacaran, kini kita coba pergi ke hal yang
lebih kompleks, yaitu dalam konteks politik. Dunia politik adalah dunia yang penuh
konspirasi. Tidak mudah mencari kebenaran di balik peristiwa-peristiwa politik. Bahkan
dalam beberapa kasus, kita sering kali tidak mampu mencari tahu motivasi sebenarnya
dari suatu peristiwa politik.

Misalnya, saat ini kita sedang dibingungkan oleh masalah ijazah mantan Presiden
Indonesia, Jokowi Dodo, yang terkenal dengan sapaan barunya, Mulyono. Masalah ini
teramat pelik, sehingga sangat sulit bagi kita untuk mengetahui kebenaran ijazah itu. Roy
Suryo berusaha memaksimalkan rasionalitasnya, mencoba mencari kontradiksi dalam
kasus ijazah Jokowi. Di sisi lain, Jokowi melalui kuasa hukumnya mengatakan enggan
menunjukkan ijazah aslinya.

Menurut Roy Suryo, ada tanda-tanda kejanggalan pada ijazah Jokowi. Seperti misalnya,
penggunaan kacamata dalam foto ijazah. Di mana kita ketahui bahwa Jokowi saat ini
tidak menggunakan kacamata, serta jenis huruf Times New Roman dalam skripsi Jokowi,
padahal pada zaman itu belum ada jenis huruf Times New Roman. Jika kita menggunakan
penelusuran rasionalitas, hal ini tentunya susah diterima.

Pembuktian keaslian ijazah Jokowi bukanlah perkara sepele. Jika ia adalah warga biasa,
tentu ia tidak memiliki kewajiban untuk membuktikan keabsahan ijazahnya kepada
publik. Namun, sebagai mantan presiden, Jokowi memikul tanggung jawab moral yang
jauh lebih besar.

Keaslian ijazah tersebut bukan sekadar soal administratif, melainkan menyangkut
integritas dan kredibilitas kepemimpinannya. Jika terbukti ijazah itu palsu, hal ini bukan
hanya mencoreng citra pribadi, tetapi juga menunjukkan celah serius dalam sistem
pemerintahan. Maka dari itu, penting bagi kita untuk memastikan bahwa kasus serupa
tidak terulang di masa depan.

Baiklah, ini hanya satu contoh kecil tentang betapa dunia politik penuh dengan
konspirasi dan membingungkan. Kita kembali ke pembahasan kita, yaitu tanda-tanda
dalam konteks politik yang lebih kompleks.

Kita mulai dengan melihat berbagai fenomena ajaib yang terjadi selama kepemimpinan
Prabowo–Gibran. Ajaib berarti sesuatu yang terjadi di luar nalar; efeknya bisa membuat
seseorang terkejut, seperti orang yang ternganga menyaksikan atraksi seorang pesulap.

Apa saja fenomena-fenomena itu?

Prabowo dan Gibran dilantik pada Minggu, 20 Oktober 2024. Jika dihitung sampai dengan
hari ini, 15 April 2025, maka Prabowo dan Gibran telah menjabat selama 175 hari atau 5
bulan dan 15 hari. Namun, dalam waktu yang begitu singkat, banyak hal kontroversial
yang terjadi, seperti: ketidakjelasan status IKN, pembekuan BEM FISIP UNAIR, PHK
massal, pagar laut, efisiensi anggaran, aksi mahasiswa “Indonesia Gelap,” tagar
#KaburAjaDulu, revisi UU TNI, masalah ekonomi dan perang dagang, dan masih banyak
yang lainnya.

Dapat kita lihat bahwa peristiwa-peristiwa politik kontroversial di atas datang dalam
rentang waktu yang begitu singkat. Ini bertanda apa? Sebagai warga negara yang baik,
apakah kita boleh mengabaikan tanda-tanda ini? Seperti kita ketahui bahwa setelah
mendung akan turun hujan melalui pengalaman sebelumnya, maka dalam konteks ini
juga kita perlu mendalami tanda-tanda ini dengan melihat pengalaman-pengalaman
sebelumnya.

Adakah pengalaman sebelumnya yang sejalan dengan rentetan masalah di era Prabowo–
Gibran? Dalam masa pergantian kekuasaan, kondisi politik yang kurang stabil memang
kerap terjadi akibat dinamika pasca pemilihan presiden. Namun, persoalan yang kita
hadapi saat ini tidak berhenti di situ—kita juga bisa melihat pola serupa dalam konteks
lain di luar momen transisi kekuasaan.

Kalau kita menggali kembali sejarah bangsa Indonesia, maka kita dapat menemukan
beberapa kesamaan rentetan kejadian-kejadian di atas pada masa krisis ekonomi. Ada
dua contoh krisis ekonomi yang menjadi patokan kita, yaitu zaman Soekarno dan
Soeharto. Pada zaman kedua presiden ini, kita dapat melihat bahwa sebelum krisis
ekonomi mencapai puncaknya, akan ada rentetan kejadian yang mendahuluinya.
Misalnya, di zaman Soekarno, sebelum ekonomi benar-benar amburadul, sudah ada
tanda-tanda seperti: kelangkaan barang pokok mulai terasa, gaji tentara dan pengawas
tidak cukup, elite mulai saling curiga; militer resah dengan PKI, proyek-proyek mercusuar
tetap berjalan.

Zaman Soeharto: sebelum nilai tukar rupiah semakin melemah sejak awal 1998, PHK
dan penutupan pabrik mulai terjadi, harga barang mulai naik, IMF belum ada solusi yang
menenangkan, dan demonstrasi mahasiswa sudah mulai berlangsung sejak
pertengahan 1997, meskipun baru mencapai skala nasional.

Tanda-tanda di atas setidaknya memiliki kemiripan dengan beberapa masalah yang
muncul dalam kepemimpinan Prabowo saat ini, seperti PHK massal, kenaikan harga
cabai, efisiensi anggaran, tagar #KaburAjaDulu, dan aksi mahasiswa.

Apakah tanda-tanda di atas sudah cukup untuk mengambil kesimpulan bahwa
kesamaan beberapa rentetan masalah zaman Soekarno, Soeharto, dan Prabowo
merupakan akibat dari melemahnya ekonomi? Seperti pada awal pembahasan, bagi
seseorang yang haus akan pengetahuan, ia tidak akan berhenti di tanda-tanda, tetapi
justru ia akan mencari penjelasan-penjelasan lain yang mendukung kebenaran dari
tanda-tanda itu.

Mari kita cari penjelasan teoritisnya. Menurut Karl Marx, ekonomi merupakan fondasi
utama dalam struktur masyarakat, yang disebut sebagai basis. Basis ini mencakup cara
dan hubungan produksi—siapa yang memiliki alat produksi dan siapa yang bekerja. Di
atas fondasi ekonomi ini berdiri suprastruktur, yaitu hukum, politik, ideologi, dan budaya.
Marx berpendapat bahwa suprastruktur dibentuk dan ditentukan oleh kondisi ekonomi;
perubahan dalam sistem ekonomi akan memicu perubahan dalam seluruh tatanan
sosial.

Pernyataan Karl Marx di atas dapat kita analisis dengan implikasi logis (Jika-maka): Jika
A, maka B. Jika A terjadi, maka B pasti terjadi juga. Tapi jika A tidak terjadi, B bisa saja
terjadi atau tidak—dan pernyataan tetap benar. Dalam konteks Karl Marx: jika ekonomi
merupakan fondasi utama dalam struktur masyarakat, maka struktur masyarakat
ditentukan oleh kondisi ekonominya. Jika kondisi ekonomi tidak stabil, maka kondisi
hukum dan politik juga tidak stabil.

Sangatlah tidak mungkin ketika ekonomi mengalami kemerosotan tanpa mempengaruhi
kehidupan sosial masyarakat. Besar kecilnya perubahan itu sesuai dengan besar
kecilnya masalah ekonomi. Mungkin, sebelum sampai pada puncak krisis, kita akan
mengalami perubahan ringan (gesekan-gesekan kecil di masyarakat). Sedangkan jika
sampai pada puncak krisis, mungkin kita akan mengalami sesuatu yang lebih berat.

Kita juga bisa menggunakan logika yang lebih relevan dalam konteks kehidupan seharihari: gaya hidup kita dipengaruhi oleh penghasilan kita. Gaya hidup dengan gaji 10 juta
per bulan tidak bisa disamakan dengan gaya hidup berpenghasilan 100 juta per bulan.
Jika penghasilan kita 100 juta per bulan, tiba-tiba dipotong menjadi 50 juta per bulan,
pasti ia akan mengubah gaya hidupnya. Mulai pelan-pelan melakukan efisiensi. Begitu
pun dalam konteks negara.

Akhirnya, dalam konteks Prabowo-Gibran, sampai pada titik ini kita sudah dapat
mengambil kesimpulan bahwa beberapa rentetan-rentetan kejadian pada masa
kepemimpinan Prabowo adalah akibat dari masalah ekonomi. Kenapa demikian? Karena
data empiris telah tiba, kita sudah dapat mengakses informasi di media sosial bahwa
memang Indonesia sedang mengalami masalah ekonomi, terutama diperburuk oleh
perang dagang antara Cina dan Amerika. Kita sudah bisa menyaksikan secara indrawi
bahwa kita sedang mengalami masalah ekonomi.

Suatu pertemuan yang sangat harmonis. Dimulai dari membaca tanda-tanda, lalu
mencoba menganalisis dengan teori dan logika, hingga akhirnya data empiris tiba untuk
membenarkannya. Artinya, jika kita lebih peka terhadap tanda-tanda dan melakukan
analisis teoritis serta logika, maka kita akan lebih siap menghadapi situasi krisis
dibandingkan dengan orang yang tidak menghiraukan situasi sama sekali. Kita tidak akan
kaget atau tersesat jika krisis itu tiba.

Tanda-tanda palsu

Ajaibnya, meskipun kita dapat membaca tanda-tanda, menggunakan beberapa
landasan teori dan logika, serta dilengkapi dengan bukti empiris, biasanya para buzzer
menghadapinya dengan memberikan pertanyaan template: “Mana buktinya? Itu kan
hanya pendapat kamu. Saya baik-baik saja, ekonomi kita masih belum parah.” Dalam hal
ini, buzzer tersebut berusaha mengelak dengan menganggap bahwa tanda-tanda, dasar
teori, logika, dan bukti empiris yang kita miliki belum cukup untuk mengambil
kesimpulan bahwa ekonomi sedang bermasalah. Mereka berusaha mengabaikan
semuanya.

Kenapa demikian? Karena kekuasaanlah yang memiliki data lengkap. Kita tidak bisa
mengakses data yang kompleks. Mereka tahu akan hal itu, mereka tahu itulah kelemahan
kita. Misalnya, dalam kasus pagar laut, sampai hari ini masyarakat tidak pernah tahu
siapa sebenarnya yang menjadi dalang dari masalah tersebut. Hanya kekuasaanlah yang
tahu (memiliki data lengkap).

Hal yang sama terjadi dalam polemik ijazah Jokowi. Para pendukungnya merasa bahwa
bukti yang ada belum cukup untuk membuktikan adanya pemalsuan ijazah tersebut.
Oleh karena itu, untuk memperoleh kepastian, diperlukan satu bukti lagi, yaitu melihat
langsung ijazah Jokowi guna memverifikasi kebenarannya.

Kita kembali ke masalah ekonomi. Sebelum akhirnya terungkap ke publik bahwa
Indonesia sedang mengalami masalah ekonomi, kita sudah bisa merasakannya melalui
tanda-tanda. Bahkan sebelum bukti itu muncul, kita sudah mulai menduga bahwa akan
ada masalah ekonomi beberapa bulan ke depan. Tapi, apakah mereka mengakui bahwa
beberapa tanda-tanda tersebut adalah akibat dari masalah ekonomi? Saat ini mungkin
iya, mereka sudah mulai pelan-pelan jujur. Namun, sebelum bukti itu muncul di publik
yang diperkuat dengan perang dagang, mereka tidak pernah jujur.

Di sisi lain, untuk membuyar konsentrasi kita dalam membaca tanda-tanda, kita sering
dihadapkan dengan informasi-informasi palsu. Mereka membuat tanda-tanda palsu
untuk mengelabui, atau yang sering disebut sebagai pengalihan isu. Dalam keadaan
seperti ini, kita semakin ditantang untuk lebih konsentrasi membaca tanda-tanda.
Lalu, bagaimana jika data empiris belum tiba? Akhirnya, kita mengerti apa yang
dimaksud Rocky Gerung: “dalam ketiadaan data, kita mesti memaksimalkan otak kita.”
Dalam keterbatasan data, kita tidak bisa menyerah dengan keadaan, tapi kita harus
melakukan upaya-upaya kritis; membaca tanda-tanda, mencari landasan teori dan
logika sembari menunggu data empiris tiba.

Mungkin kekuasaan lihai dalam menyembunyikan data, kadang dengan alasan “rahasia
negara,” yang sering kali digunakan untuk menutupi informasi yang sebenarnya penting.
Tak jarang, mereka bahkan membuat data palsu dan melakukan pengalihan isu. Namun,
mereka tidak bisa memanipulasi tanda-tanda nyata seperti: masyarakat merasakan
lapar, masyarakat semakin miskin, harga-harga barang naik, mencari kerja susah, PHK
massal, dan lain-lain. Inilah kekuatan kita.

Namun, dalam membaca tanda-tanda, jika tidak dibekali dengan wawasan yang luas,
saya pikir itu kurang komplit. Bagaikan seorang buruh yang merasa dicurangi, tetapi tidak
tahu bagaimana cara melawan, tidak tahu bagaimana cara menyampaikannya. Jadilah
seperti nelayan dari Banten yang datang dengan setumpuk pengetahuan, sehingga ia
mampu berbantah-bantahan dengan siapa pun yang ingin memanipulasinya.
Catatan

Apa yang terjadi setelah masalah ekonomi?

Yang pasti, kita belum tahu! karena bukti empiris belum tiba. tapi kembali lagi, kita
sebagai masyarakat biasa yang penuh dengan keterbatasan data, hanya dapat mencari
pengalaman sebelumnya dan didukung oleh wawasan yang luas.
Krisis ekonomi, jika tidak dihadapi dengan baik, maka yang terjadi adalah chaos. Itulah
yang terjadi di zaman Soekarno dan Soeharto. Apalagi kalau ada masalah-masalah lain
selain masalah ekonomi. Pada zaman Soekarno, misalnya, ada pemberontakan dan
konflik ideologi, sedangkan pada zaman Soeharto, masalah seperti otoritarianisme,
korupsi, nepotisme, dan lain-lain muncul.

Masalah-masalah ini menumpuk bertahun-tahun dan menciptakan ketegangan sosial
serta jarak antara pemerintah dan masyarakat. Ketika krisis ekonomi terjadi, semua
masalah tersebut “meledak” secara bersamaan; rakyat turun ke jalan, elite mulai
meninggalkannya, dan tekanan internasional mulai meningkat.

Perlu diingat bahwa krisis ekonomi pada zaman Soekarno dan Soeharto berakhir tragis.
Walaupun pada zaman Soeharto beberapa kali krisis ekonomi mampu di-counter dengan
baik, pada akhirnya Soeharto tetap tidak mampu mempertahankan kekuasaannya.
Bagaimana dengan masalah ekonomi saat ini? Chaos atau tidaknya tergantung pada
Presiden Prabowo. Jika ia tidak berhati-hati dalam penanganannya, bisa saja berakhir
tragis seperti yang sudah terjadi sebelumnya. Begitu pun sebaliknya.

Jika dianalisis melalui pendekatan materialisme dialektika Marx dan Engels dalam
konteks yang berbeda, kita dapat menemukan sejumlah kontradiksi dalam
kepemimpinan Prabowo, khususnya terkait kebijakan-kebijakan yang diambil. Salah satu
contohnya adalah ketika kondisi ekonomi nasional sedang tidak stabil, namun Prabowo
tetap mendorong pelaksanaan program makan bergizi gratis (MBG) yang membutuhkan
anggaran sangat besar. Ini bisa dilihat sebagai bentuk kontradiksi antara janji politik dan
realitas ekonomi yang dihadapi.

Di sisi lain, terdapat inkonsistensi dalam sikap Prabowo. Pada awalnya, Prabowo dengan
gagah menyampaikan akan mengejar koruptor sampai ke Antartika, namun seiring waktu
ketegasannya mulai melunak. Hal ini tercermin dalam ucapannya; “Kasihan keluarga
koruptor yang tidak bersalah, kembalikan saja hasil korupsinya.”

Kemudian, Prabowo dan elite politik lainnya menggaungkan tentang kemandirian
bangsa, tetapi kenyataannya kita masih sangat bergantung pada investasi asing, utang
luar negeri, dan perdagangan global.

Kontradiksi semacam ini, jika terus dibiarkan, akan mencapai titik puncaknya dan
melahirkan sebuah sintesis. Akan terjadi sebuah “ledakan” yang menghancurkan
kontradiksi tersebut dan mendorong lahirnya perubahan yang bersifat revolusioner.
Demikianlah menurut pandangan Marx dan Engels.

Pada pembahasan sebelumnya, saya mengatakan bahwa data politik bisa
disembunyikan oleh kekuasaan, tetapi soal kemiskinan, harga cabe yang naik, PHK
massal, dan pengangguran—mereka tidak bisa berbohong. Seperti yang sudah
ditegaskan oleh kaum rasionalisme bahwa akal adalah yang utama, maka sebelum data
empiris yang mereka sembunyikan tiba, kita harus mengaktifkan akal kita. Kita pinjam
semangat rasionalisme.

Penulis: Mayo Quirino – Pengurus Pusat PMKRI

spot_img
Populer
Berita Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here